Connect with us

LIPUTAN HAJI 2025

Mekkah dan Magnet Belanja Jamaah Indonesia

Published

on

KITASULSEL–MAKKAH—Setiap langkah menuju Masjidil Haram terasa seperti menuju detik-detik paling sakral dalam hidup. Di tengah hiruk pikuk jemaah dari berbagai negara, ada satu rombongan yang paling mudah dikenali—jamaah Indonesia. Tak hanya dari bahasa dan logat, tapi juga dari antusiasme mereka saat mata mereka menangkap deretan toko kurma, sajadah warna-warni, dan parfum khas Arab yang menggoda dari etalase kaca.

 

Ya, inilah Mekkah. Kota suci, tempat jutaan Muslim menunaikan ibadah haji dan umrah, sekaligus “surga belanja” yang tak tertulis, khususnya bagi jamaah dari Indonesia.

 

Bagi Nuraini(63)seorang ibu asal Makassar, datang ke Mekkah adalah mimpi yang ditabung selama hampir 15 tahun. “Saya ingin khusyuk ibadah, tapi juga ingin membawakan sesuatu untuk anak-anak dan tetangga di rumah,” katanya sambil memegang tas belanja berisi kurma Ajwa, tasbih digital, dan beberapa jilbab khas Timur Tengah.

BACA JUGA  Tenaga Ahli Menag RI Lepas 393 Jemaah Haji Kloter 7 Embarkasi Makassar

 

Ia bukan satu-satunya. Hampir setiap sudut di sekitar Masjidil Haram dipadati jamaah Indonesia yang berbelanja, entah di toko kecil milik pedagang lokal, atau di pusat perbelanjaan mewah seperti Abraj Al Bait yang menjulang megah di samping Ka’bah.

 

Di antara toko-toko itu, terdengar kata-kata yang sangat akrab: “Berapa ini, Pak?” atau “Ada diskon kalau beli banyak?”. Tak jarang, para pedagang Arab pun fasih melayani dengan bahasa Indonesia seadanya: “Murah, Bu!”, “Asli, bagus!”, atau “Sepuluh riyal saja!”.

 

 

Di Indonesia, oleh-oleh dari tanah suci punya nilai emosional tersendiri. Sebuah sajadah atau air zamzam bukan sekadar benda, tapi simbol kesalehan dan doa yang dibawa pulang. Tak heran jika sebelum berangkat, banyak jamaah yang sudah menerima titipan: kurma, gamis, sampai minyak wangi khas Arab.

BACA JUGA  Petugas Haji Siap Sambut Kloter Pertama Jemaah Indonesia di Bandara Madinah

 

Menurut Ustaz Abdul Karim, pembimbing haji dari Jakarta, belanja bisa jadi bentuk syukur dan berbagi kebahagiaan. “Tapi tetap harus seimbang. Jangan sampai malah lebih fokus ke pusat oleh-oleh daripada ke Masjidil Haram,” ujarnya sambil tersenyum.

 

Dulu, Mekkah hanyalah kota sederhana di tengah gurun. Kini, transformasinya luar biasa. Hotel-hotel pencakar langit, mal modern, hingga restoran cepat saji menjamur. Fenomena ini membuat pengalaman spiritual para jamaah modern menyatu dengan ritme konsumsi global.

 

Namun, di tengah semua kemewahan itu, semangat keikhlasan dan kekhusyukan masih terasa. Saat azan berkumandang, seluruh aktivitas seakan berhenti. Para pembeli dan penjual sama-sama menuju Masjidil Haram, menanggalkan dunia sementara untuk menyatu dalam doa.

BACA JUGA  Respons Cepat Dr. Bunyamin: Tim Linjam Kini Bermarkas Dekat Jamaah di Hotel Hilton Mekkah

 

Belanja di Mekkah, jika dilakukan dengan niat yang tulus dan penuh kesadaran, bisa menjadi pengalaman yang tak kalah bermakna. Sebuah sajadah dari tanah suci bisa menjadi pengingat bahwa perjalanan spiritual itu nyata, dan bahwa ibadah bukan hanya urusan hati, tapi juga memberi manfaat dan kebahagiaan bagi sesama.

 

Mekkah adalah kota yang tak pernah tidur—penuh zikir, doa, dan… kantong belanja.

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

LIPUTAN HAJI 2025

Komando Sunyi Menuju Arafah: Dr. Bunyamin dalam Misi Iman dan Tanggung Jawab

Published

on

Kitasulsel—Makkah—Mentari belum tinggi ketika langkah cepat Dr. Bunyamin mulai menembus lorong-lorong sempit di kawasan Misfalah, Makkah. Udara pagi itu masih membawa sejuk sisa malam, tapi di wajahnya terlihat ketegasan dan kegelisahan. Ia tahu, hari ini bukan hari biasa. Ini adalah hari dimulainya puncak perjalanan spiritual umat Islam — hari di mana jamaah haji dari seluruh dunia mulai bergerak menuju Arafah, untuk wukuf.

Namun, di balik semua kesakralan itu, ada satu janji yang membebaninya sejak pagi: tidak boleh ada satu pun jamaah Indonesia yang tertinggal dari wukuf. Tidak seorang pun.

Misi Pagi: Mengejar Waktu, Menjaga Martabat

Pukul 06.00 pagi, Dr. Bunyamin—Tenaga Ahli Menteri Agama RI Bidang Haji, Umrah, dan Hubungan Luar Negeri—sudah menyambangi sektor 8, 9, dan 10 di Misfalah. Wajahnya serius, suaranya tajam, namun tetap tenang. Kepada syarikah, penyedia layanan transportasi dan logistik jamaah, ia memberikan instruksi jelas.

BACA JUGA  Menjelang Puncak Haji, Jemaah Diimbau Batasi Aktivitas Fisik dan Umrah Sunah

“Saya tidak ingin jamaah-jamaah kami dari Indonesia menunggu terlalu lama. Semua sudah kita sepakati. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda.”

Perintah itu bukan sekadar tuntutan birokrasi. Itu adalah bentuk tanggung jawab. Sebab di balik setiap kursi bus, ada harapan, ada air mata, ada doa-doa yang dilafalkan bertahun-tahun oleh para jamaah dari kampung-kampung kecil di Nusantara. Mereka yang menjual tanah, menggadaikan sawah, dan menabung seumur hidup, hanya untuk sampai ke titik ini—wukuf di Arafah.

Bukan Sekadar Transportasi, Tapi Kepercayaan

Setelah menyisir Misfalah, Dr. Bunyamin bergerak ke sektor 4, 5, 6, dan 7. Di sana, masalah lain muncul. Bus datang terlambat, dan ketika bus siap, sebagian jamaah belum. Satu per satu kendala itu ia hadapi. Tidak dengan emosi, tetapi dengan pendekatan manusiawi.

“Ini masalah teknis. Bisa kita atasi. Tapi butuh ketegasan dan komunikasi yang cepat,” ujarnya kepada tim lapangan.

BACA JUGA  Tenaga Ahli Menag RI Lepas 393 Jemaah Haji Kloter 7 Embarkasi Makassar

Ada kalanya petugas bingung. Ada yang tampak kelelahan. Tapi kehadiran Dr. Bunyamin seperti suntikan semangat. Ia tidak datang untuk mencari kesalahan, melainkan untuk memastikan sistem bekerja—agar para tamu Allah dapat menyempurnakan ibadahnya dengan tenang.

Dialog dan Diplomasi di Sektor 1

Di sektor 1, situasi berbeda. Permasalahan kembali muncul, dari syarikah yang berbeda. Namun, pendekatan yang sama diterapkan. Dengan komunikasi terbuka dan diskusi intens, akhirnya syarikah memberikan jaminan bahwa seluruh jamaah Indonesia akan diberangkatkan tepat waktu.

“Ini bukan hanya soal teknis,” kata Dr. Bunyamin kemudian. “Ini tentang amanah. Kita membawa kepercayaan jutaan keluarga di tanah air.”

Senja di Arafah: Menjaga Kenyamanan di Puncak Ibadah

Menjelang sore, setelah semua titik dibereskan, Dr. Bunyamin tidak lantas kembali ke posnya. Ia justru menuju Arafah. Di sana, tenda-tenda besar mulai dipenuhi jamaah. Ia menyusuri barisan tenda satu per satu, mengecek kelayakan, mengevaluasi kenyamanan, dan memastikan tidak ada jamaah yang tercecer.

BACA JUGA  Petugas Haji Siap Sambut Kloter Pertama Jemaah Indonesia di Bandara Madinah

Di tengah deru angin padang Arafah, ia berhenti sejenak. Melihat seorang jamaah lansia duduk tenang dengan Al-Qur’an di tangannya. Di matanya, ada air bening. Mungkin bahagia. Mungkin haru. Atau mungkin keduanya.

Dr. Bunyamin mengangguk. “Inilah tujuan akhir kita. Ini yang harus kita jaga.”

Haji Adalah Soal Hati

Bagi sebagian orang, haji mungkin sekadar ritual. Tapi bagi Dr. Bunyamin dan timnya, haji adalah urusan hati. Menjaga prosesnya adalah menjaga nilai-nilai kemanusiaan, pelayanan, dan komitmen kepada rakyat.

Sidak hari itu bukan hanya bentuk pengawasan. Itu adalah bentuk cinta, kepada bangsa, kepada umat, dan kepada tugas yang telah diamanahkan.

Dan ketika malam turun di padang Arafah, satu demi satu tenda terisi oleh jamaah Indonesia yang siap menyempurnakan rukun Islam kelima, satu hal telah menjadi pasti:

Tidak ada yang tertinggal.

Continue Reading

Trending

Copyright © 2024 Kitasulsel